Pengertian Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)


Pengertian Lembaga Sertifikasi Profesi

Pengertian LSP
Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) adalah lembaga pelaksanaan kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lisensi diberikan melalui proses akreditasi oleh BNSP yang menyatakan bahwa LSP bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan sertifikasi profesi. Sebagai organisasi tingkat nasional yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia, LSP dapat membuka cabang yang berkedudukan di kota lain.
Fungsi dan Tugas LSP
  1. Membuat materi uji kompetensi.
  2. Menyediakan tenaga penguji (asesor).
  3. Melakukan asesmen.
  4. Menyusun kualifikasi dengan mengacu kepada KKNI.
  5. Menjaga kinerja asesor dan TUK.
  6. Membuat materi uji kompetensi.
  7. Pengembangan skema sertifikas
Wewenang LSP
  1. Menetapkan biaya kompetensi.
  2. Menerbitkan sertifikat kompetensi.
  3. Mencabut/membatalkan sertifikasi kompetensi.
  4. Menetapkan dan memverifikasi TUK.
  5. Memberikan sanksi kepada asesor maupun TUK bila mereka melanggar aturan.
  6. Mengusulkan standar kompetensi baru.
Pembentukan LSP
LSP dipersiapkan pembentukannya oleh suatu panitia kerja yang dibentuk oleh atau dengan dukungan asosiasi industri terkait. Susunan panitia kerja terdiri dari ketua bersama sekretaris, dibantu beberapa anggota. Personal panitia mencakup unsur industri, asosiasi profesi, instansi teknis terkait dan pakar. Tugas panitia kerja adalah Menyiapkan badan hukum Menyusun organisasi maupun personel Mencari dukungan industri maupun instansi terkait. Surat permohonan untuk memperoleh lisensi ditujukan kepada BNSP
Pengendalian LSP
Kinerja LSP dipantau secara periodik melalui laporan kegiatan Surveilen dan monitoring LSP yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan BNSP dikenakan sanksi sampai pada pencabutan lisensi Kinerja pemegang sertifikat dipantau melalui laporan pengguna jasa (industri).

Perbedaan SKK-NI dan SKK- KHUSUS

  1. Dasar dan proses pembuatan SKK.
SKK-NI dibuat atas kesepakatan bersama antara asosiasi industri pengguna, pakar di bidangnya, dan kementerian atau sektor yang terkait dengan SKK-NI, serta Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), melalui beberapa tahapan yang dipersyaratkan oleh BNSP. SKK-Khusus dibuat oleh asosiasi yang terkait dengan industri yang akan mempergunakannya dan berlaku untuk memenuhi kebutuhan lingkungan asosiasi dan/atau oleh industri yang sudah memutuskan akan memakai SKK-Khusus ini.
  1. Siapa yang boleh menggunakan SKK untuk uji sertifikasi kompetensi?
SKK-NI dapat dipakai oleh siapa saja yaitu semua industri, lembaga Diklat Vokasi Universitas, dan bahkan dapat dipakai oleh asosiasi lain yang berminat untuk mengadopsi baik seluruh maupun sebagian dari SKK-NI tersebut. SKK-Khusus hanya boleh dipakai oleh lembaga tertentu saja yang sudah memperoleh ijin dari pemilik atau pemrakarsa SKK tersebut.

Perbedaan Tipe LSP

Ada tiga tipe LSP, yaitu:
  1. LSP tipe 1 atau sering disebut dengan nama LSP P1
LSP P1 dibentuk oleh lembaga pendidikan dan pelatihan (Lemdiklat) yang melatih pesertanya untuk kebutuhan industri. LSP P1 dapat menerbitkan sertifikat kompetensi sesuai dengan skema yang telah divalidasi oleh BNSP.  LSP P1 merupakan bagian terpadu dari LPK (lembaga pelatihan kerja) yang memiliki lisensi sebagai LPK independen dari Kemenaker. Oleh karena itu, pelatihan menjadi bagian tidak terpisah dari proses ujian sertifikasi yang dilaksanakan oleh LSP P1 ini. LSP P1 dapat menggunakan SKK-NI maupun SKK-Khusus tergantung dari pilihan mereka.
  1. LSP tipe 2 atau sering disebut dengan nama LSP P2
LSP P2 mirip dengan LSP P1, tetapi dijalankan oleh suatu departemen pemerintah tertentu yang membutuhkan SKK Khusus dari departemen itu sendiri untuk dijadikan landasan edukasi dan sertifikasi internal mereka. LSP P2 dibentuk oleh dinas unit pelaksana teknis (UPT) untuk memastikan jaringan UPT yang melakukan program sertifikasi kompetensi dapat diterbitkan oleh UPT yang membentuknya dengan UPT-UPT yang lain cukup sebagai tempat uji kompetensi (TUK). LSP P2 dapat menggunakan SKK-NI maupun SKK-Khusus tergantung dari pilihan mereka.
  1. LSP tipe 3 atau sering disebut dengan nama LSP P3
LSP P3 adalah LSP umum yang dapat dibentuk oleh asosiasi industri atau asosiasi profesi. Ujian sertifikasinya tidak harus terpadu dengan pelatihan khusus dari suatu LPK independen ataupun UPT tertentu. Siapapun yang memenuhi syarat dapat mengikuti ujian sertifikasi mereka secara langsung, dan oleh karena itu, LSP P3 umumnya menggunakan SKK-NI.

Mana yang Lebih Baik atau Lebih Sesuai?

Mana yang lebih baik atau sesuai, apakah SKK-Khusus atau SKKNI?
Tidak menjadi masalah bagi praktisi dan profesi untuk memilih LSP yang berbasis SKK-Khusus ataupun SKK-NI. Yang terpenting untuk dipahami adalah rincian elemen kompetensi dari SKK tersebut dan pemahaman tentang unit dan elemen kompetensi apa yang akan diuji? Sangat riskan dan sangat naif bila kita mengatakan SKK-Khusus lebih baik dari SKK-NI atau sebaliknya. Ada SKK yang menitik beratkan pada kompetensi untuk kebutuhan industri tertentu saja secara spesifik dan ada SKK yang mendasarkan diri pada suatu standar khusus yang dapat dipakai lintas industri.
Semua itu adalah pilihan dan oleh karena itu terminologi yang lebih tepat adalah bukan mencari mana yang lebih baik, tetapi mencari mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan organisasi dan/atau individu yang akan mengambil sertifikasi.
Mana yang lebih baik atau sesuai, apakah LSP P1, LSP 2, atau LSP P3?
Karena tidak ada LSP tipe tertentu yang dianggap lebih baik dari tipe yang lainnya, maka pertanyaan akan lebih tepat bila LSP tipe mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan organisasi dan/atau individu yang akan mengambil sertifikasi.
Dengan pertimbangan bahwa LSP P2 sangat spesifik untuk kebutuhan internal suatu departemen pemerintahan tertentu saja, tulisan akan mengupas lebih jauh hanya perbandingan LSP P1 dan LSP P3.
Karena LSP P1 mengharuskan adanya keterpaduan antara standar, edukasi atau pelatihan, dan uji sertifikasi, maka pelatihan menjadi keharusan mutlak bagi siapapun yang akan mengambil sertifikasi. Di sisi lain, karena LSP P3 tidak mengharuskan secara mutlak adanya keterpaduan di atas, maka pelatihan seharusnya menjadi pilihan saja bagi calon pengambil sertifikasi (catatan: walaupun dalam praktik ada beberapa LSP P3 yang kadang menyarankan adanya pelatihan pendahuluan sebelum ujian sertifikasi).

Tips memilih LSP yang Tepat

Berangkat dari keterangan di atas, apa yang perlu dipertimbangkan dalam memilih tipe LSP (antara LSP P1 dengan LSP P3) dan uji sertifikasi yang ditawarkan? Di bawah ini ada 3 pertanyaan mandiri yang dapat membantu calon pengambil sertifikasi dalam menentukan pilihan mereka:
A. Standar apa yang dipakai?
  • Apakah relevan dengan kebutuhan organisasi dan/atau kebutuhan individu pengambil ujian sertifikasi baik untuk kebutuhan mereka saat ini maupun kebutuhan mereka di masa mendatang?
  • Apakah dasar rujukan memiliki cakupan bersifat nasional saja atau lebih luas di tingkat regional dan internasional?
  • Sejauh apa standar ini diakui dan diterima oleh komunitas MR dan industri yang terkait sebagai pengguna dan sejauh mana keberlanjutan standar tersebut?
B. Standar kompetensi kerja apa yang digunakan?
  • Sejauh apa SKK yang dipakai mencerminkan kualitas dan tingkat kedalaman elemen kompetensi yang diadopsi? Hal ini sangat fundamental karena kualitas elemen kompetensi akan sangat berpengaruh pada kualitas skema kompetensi yang ditawarkan oleh LSP.
  • Sejauh apa elemen kompetensi dalam SKK sejalan dan seiring dengan standar yang dijadikan rujukan?
  • Sejauh apa SKK yang dipakai direkognisi oleh asosiasi profesi bidang yang relevan?
C. Skema kompetensi yang ditawarkan?
  • Skema kompetensi apa saja yang ditawarkan dan sejauh apa skema yang tersedia tersebut sesuai dengan kebutuhan organisasi dan/atau individu pengambil ujian sertifikasi.
  • Apakah setiap skema yang ditawarkan telah divalidasi oleh BNSP dan absah menjadi cakupan lisensi yang telah dimiliki oleh LSP tersebut atau masih dalam proses validasi BNSP?
  • Apakah kaitan antar satu skema ke skema lainnya jelas dan sejalan dengan kebutuhan jenjang pengembangan kompetensi SDI organisasi dan/atau individu pengambil ujian sertifikasi tersebut?
D. Metode pelatihan apa yang dipakai?
  • Apakah sesuai dengan pendekatan ‘adult learning’ dan berbasis ‘competency development’? Misal apakah tingkat rasio komposisi studi kasus dan teori berimbang?, atau apakah ada penggunaan simulasi yang dapat mengasah kompetensi dengan lebih tajam?, dan lain sebagainya.
  • Apakah efektifitas pelatihan terukur, sehingga dapat menjadi masukan bagi pengembangan SDI organisasi?
  • Apakah didukung oleh tim instruktur yang memiliki reputasi tinggi baik dari segi teoritis penguasaan standar yang dipakai maupun dalam penguasaan praktis penggunaan standar tersebut?
E. Metode dan materi uji sertifikasi yang dipakai?
  • Apakah asesor yang digunakan berlisensi asesor dari BNSP serta menguasai standar yang digunakan baik dari segi penguasaan teoritis maupun praktis?
  • Apakah materi uji sertifikasi dirawat dan dikembangkan terus-menerus sejalan dengan kebutuhan profesi dalam cakupan standar yang digunakan?
  • Sejauh apa reputasi organisasi pelaksana dalam mengadakan proses uji kompetensi, misal penjadwalan ujian sertifikasi, persiapan tempat uji kompetensi, tingkat pelayanan selama proses ujian sertifikasi, maupun dalam proses penerbitan sertifikat, dan lain sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar